Minggu, 21 Juli 2013

Kisah penguat iman

Makna Ketulusan

Kadang atau mungkin seringkali kita menceritakan pada orang lain perbuatan baik yang telah kita lakukan pada orang yang memang membutuhkannya. Dengan bangganya kita mengatakan kita telah berbuat ini dan itu kepada si A dan si B. Memang hal itu sah-sah saja dan terkadang patut diceritakan agar orang lain yang mendengar juga ikut tergerak hati sanubarinya untuk membantu. Meskipun demikian, tidak ada salahnya kita membaca kisah yang dialami sepasang suami istri di Taiwan berikut ini. Kisah mereka sungguh memberikan arti terbaru dari sebuah ketulusan.

Sepasang suami-istri suatu saat berkesempatan untuk pulang ke kampung halaman setelah sekian lama mereka tinggalkan. Begitu mereka memasuki bus, ternyata salah satu bangku pesanan mereka sudah ditempati seorang perempuan. Sang suami meminta istrinya untuk duduk terlebih dulu di sebelah perempuan itu. Sementara sang suami itu sendiri hanya berdiri di samping istrinya tanpa meminta wanita itu untuk pindah tempat duduk. Untuk diketahui, kaki perempuan itu cacat. Dan sang suami memang sudah melihatnya sejak tadi. Karena itulah, dia mengabaikan perempuan yang mengambil jatah kursinya.

Perjalanan pasangan itu bisa dibilang cukup panjang, namun selama itu pula sang suami tetap berdiri dengan sabar dan tenang. Begitu turun dari bus, si istri berkata pada suaminya, "Memberikan tempat duduk pada orang lain yang membutuhkan memang baik. Tapi, bisa kan di separuh perjalanan, kau minta wanita itu untuk berdiri dan bergantian denganmu?" Jawab sang suami, "Wanita itu sudah tidak nyaman seumur hidupnya, sementara aku hanya kurang nyaman selama 3 jam saja." Seperti dikatakan di awal tadi, melakukan sesuatu yang baik "dengan diketahui orang lain" adalah hal yang biasa. Namun, menjadi sesuatu yang luar biasa apabila kebaikan itu tidak diketahui orang lain. Kebaikan itu terasa lebih mulia dan tulus.




Jantung yang terbuka

Orangtuaku jatuh cinta pada pandangan pertama, dan mereka telah menjalani kehidupan cinta selama lebih dari lima puluh dua tahun. Mereka bukan saja merasa nyaman terhadap satu dan lainnya atau sekadar saling bertoleransi terhadap kekurangan masing-masing. Mereka masih saling sungguh-sungguh saling jatuh cinta, berikut semua gairah, sakit hati, serta gejolak emosi lainnya.

Ayah selalu suka menggoda daripada romantis, dan ia telah membanjiri kami dengan cerita-cerita eksploitasinya. Misalnya, petama kali ia dan ibu saling bicara adalah setelah perang dunia II, setelah ayak kembali dari Jepang. Ia sedang mengendarai mobil baru kakaknya ke kota ketika ia melihat ibu memasuki toko furnitur. Ia segera berhenti, melompat keluar dari mobil dan berhasil memasuki toko tepat di belakang ibu. Ibuku yang saat itu berusian dua puluh enam tahun, dan sedang berpikir untuk mencari apartemen, dan meminta kepada pemilik toko untuk menunjukan satu set tempat tidur tunggal, yang telah ia lihat seminggu sebelumnya. Ayah, yang baru sekedar mengenal ibu, melagkah kesisinya dan berkata, “Ah Maude, masa kita tidur di tempat tidur tunggal?”

Tiga bulan kemudian mereka menikah, dan mereka memang tidur di atas dua tempat tidur tunggal itu sampai mereka mampu membeli tempat tidur ganda. Lima puluh tiga tahun kemudian mereka masih tidur di tempatt tidur yang sama.

Pada usia tujuh puluh delapan, ayah menjalani bedah jantung. Ibu yang berusia tujuh puluh enam tahun menghabiskan setiap malam di rumah sakit, dan setiap siang di sisi tempat tidurnya. Hal pertama yang ayah katakan ketika mereka melepas selang tenggoroknya adalah hal yang paling romantis yang pernah kudengar. Ia berkata “Maude, kau tahu apa yang dokter temukan ketika membedahku? Ia menemukan namamu terukir di jantungku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar