Makna Ketulusan
Kadang atau mungkin seringkali kita menceritakan pada orang lain
perbuatan baik yang telah kita lakukan pada orang yang memang
membutuhkannya. Dengan bangganya kita mengatakan kita telah berbuat ini
dan itu kepada si A dan si B. Memang hal itu sah-sah saja dan terkadang
patut diceritakan agar orang lain yang mendengar juga ikut tergerak hati
sanubarinya untuk membantu. Meskipun demikian,
tidak ada salahnya kita membaca kisah yang dialami sepasang suami istri
di Taiwan berikut ini. Kisah mereka sungguh memberikan arti terbaru
dari sebuah ketulusan.
Sepasang suami-istri suatu saat
berkesempatan untuk pulang ke kampung halaman setelah sekian lama mereka
tinggalkan. Begitu mereka memasuki bus, ternyata salah satu bangku
pesanan mereka sudah ditempati seorang perempuan. Sang suami meminta
istrinya untuk duduk terlebih dulu di sebelah perempuan itu. Sementara
sang suami itu sendiri hanya berdiri di samping istrinya tanpa meminta
wanita itu untuk pindah tempat duduk. Untuk diketahui, kaki perempuan
itu cacat. Dan sang suami memang sudah melihatnya sejak tadi. Karena
itulah, dia mengabaikan perempuan yang mengambil jatah kursinya.
Perjalanan pasangan itu bisa dibilang cukup panjang, namun selama itu
pula sang suami tetap berdiri dengan sabar dan tenang. Begitu turun dari
bus, si istri berkata pada suaminya, "Memberikan tempat duduk pada
orang lain yang membutuhkan memang baik. Tapi, bisa kan di separuh
perjalanan, kau minta wanita itu untuk berdiri dan bergantian denganmu?"
Jawab sang suami, "Wanita itu sudah tidak nyaman seumur hidupnya,
sementara aku hanya kurang nyaman selama 3 jam saja." Seperti dikatakan
di awal tadi, melakukan sesuatu yang baik "dengan diketahui orang lain"
adalah hal yang biasa. Namun, menjadi sesuatu yang luar biasa apabila
kebaikan itu tidak diketahui orang lain. Kebaikan itu terasa lebih mulia
dan tulus.
Jantung yang terbuka
Orangtuaku jatuh cinta pada pandangan pertama, dan mereka telah
menjalani kehidupan cinta selama lebih dari lima puluh dua tahun. Mereka
bukan saja merasa nyaman terhadap satu dan lainnya atau sekadar saling
bertoleransi terhadap kekurangan masing-masing. Mereka masih saling
sungguh-sungguh saling jatuh cinta, berikut semua gairah, sakit hati,
serta gejolak emosi lainnya.
Ayah
selalu suka menggoda daripada romantis, dan ia telah membanjiri kami
dengan cerita-cerita eksploitasinya. Misalnya, petama kali ia dan ibu
saling bicara adalah setelah perang dunia II, setelah ayak kembali dari
Jepang. Ia sedang mengendarai mobil baru kakaknya ke kota ketika ia
melihat ibu memasuki toko furnitur. Ia segera berhenti, melompat keluar
dari mobil dan berhasil memasuki toko tepat di belakang ibu. Ibuku yang
saat itu berusian dua puluh enam tahun, dan sedang berpikir untuk
mencari apartemen, dan meminta kepada pemilik toko untuk menunjukan satu
set tempat tidur tunggal, yang telah ia lihat seminggu sebelumnya.
Ayah, yang baru sekedar mengenal ibu, melagkah kesisinya dan berkata,
“Ah Maude, masa kita tidur di tempat tidur tunggal?”
Tiga bulan
kemudian mereka menikah, dan mereka memang tidur di atas dua tempat
tidur tunggal itu sampai mereka mampu membeli tempat tidur ganda. Lima
puluh tiga tahun kemudian mereka masih tidur di tempatt tidur yang sama.
Pada usia tujuh puluh delapan, ayah menjalani bedah jantung. Ibu yang
berusia tujuh puluh enam tahun menghabiskan setiap malam di rumah sakit,
dan setiap siang di sisi tempat tidurnya. Hal pertama yang ayah katakan
ketika mereka melepas selang tenggoroknya adalah hal yang paling
romantis yang pernah kudengar. Ia berkata “Maude, kau tahu apa yang
dokter temukan ketika membedahku? Ia menemukan namamu terukir di
jantungku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar